Tradisi Lisan
Masyarakat Langagedha memiliki kekayaan tradisi lisan yang terus dilestarikan dari generasi ke generasi. Budaya tutur ini terlihat jelas dalam berbagai cerita rakyat yang kerap diceritakan oleh para tetua, menggambarkan nilai-nilai leluhur, kearifan lokal, serta sejarah masyarakat Langagedha. Tradisi ini tidak hanya menjadi sarana hiburan, tetapi juga berfungsi sebagai media pendidikan dan pengikat identitas budaya, yang menjadikan tradisi lisan sebagai salah satu kekayaan budaya yang perlu terus dijaga dan dilestarikan.


Ine Pare
Pada zaman dahulu, nasi belum dikenal oleh masyarakat Ngada dan sekitarnya. Kala itu makanan pokok mereka adalah sorgum (sae lewa) dan ubi-ubian (uwi). Ema Oba dan isterinya Ine Ghena beserta anak-anaknya tinggal di Malagisi. Keluarga Ema Oba dikarniai lima orang anak yang terdiri dari tiga orang putra dan dua orang putrid. Ketiga puteranya masing-masing bernama Teru, Tena dan Nilu/Nage, sedangkan kedua puterinya bernama Sina dan Pare.
Sejarah Singkat Etnis Ngadhu Bhaga

Beberapa narasumber kebudayaan menyatakan nama Kabupaten Ngada merupakan nama etnis Ngadha yang berasal dari kata Magadha yaitu nama sebuah tempat di India (Yunan Selatan) yang memiliki kemiripan penerapan tatanan kehidupan yang hampir sama dengan orang Ngadha di Pulau Flores (Ota Roja Zeta Roja – artinya di daratan Ngada/Flores, Lau wio, – antara Flores dan Sumba).