Ine Pare
Pada zaman dahulu, nasi belum dikenal oleh masyarakat Ngada dan sekitarnya. Kala itu makanan pokok mereka adalah sorgum (sae lewa) dan ubi-ubian (uwi). Ema Oba dan isterinya Ine Ghena beserta anak-anaknya tinggal di Malagisi. Keluarga Ema Oba dikarniai lima orang anak yang terdiri dari tiga orang putra dan dua orang putrid. Ketiga puteranya masing-masing bernama Teru, Tena dan Nilu/Nage, sedangkan kedua puterinya bernama Sina dan Pare.

Setelah sekian lama tinggal di Malagisi akhirnya keluarga Ema Oba dan Ine Ghena memilih pindah untuk tinggal di Langagedha (Langa adalah nama salah satu Suku/Klan yang berdiam di pegunungan sekitar gunung Inerie, gedha artinya puncak/tempat yang paling tinggi). Suatu hari Ema Oba pergi untuk mengunjungi kebunnya (taki uma) yang terletak di Malagisi yang sebelumnya menjadi tempat tinggal mereka sekeluarga. Jika berpergian seperti itu Ema Oba biasanya meninggalkan rumah dalam waktu yang cukup lama, diperkirakan sekitar satu sampai dua bulan lebih lamanya. Waktu yang begitu lama dikarenakan selain melihat dan memeriksa kebun beserta tanaman-tanaman yang ada didalam kebunnya Ema Oba juga menyempatkan diri untuk mengunjungi sanak saudaranya dan keluarganya yang telah menyebar dan menetap di beberapa tempat setelah mereka melakukan pengembaraan dari tempat asal mula mereka yakni suatu tempat yang tidak diketahui dengan jelas namanya (pu’u zili giu gema).
Seperti pada waktu waktu sebelumnya Ema Oba pergi taki uma sampai ke wilayah sekitar yang disebut Aimere saat ini, sedangkan Ine Ghena isterinya tinggal di kampung Langa gedha bersama anak-anak mereka. Ketiga anak laki-lakinya kini sudah tumbuh dewasa. Teru dan Tena memiliki bakat untuk berburu (ghabo) di hutan, sedangkan saudaranya Nilu lebih senang menyadap tuak (kaza tua). Sementara kedua puteri mereka juga sudah bertumbuh dewasa dan memilki paras yang cantik. Si Sina berkulit sangat putih bersih dan memiliki rambut lurus dan hitam serta panjang dan tidak pernah dibiarkan tergerai melainkan selalu dikonde. Sina mulai belajar menenun dituntun oleh ibunya Ghena. Pare si anak bungsu usianya berpaut dua tahun lebih muda dari kakaknya Sina. Pare juga sangat cantik dengan tinggi badan semampai dan kulit badannya tidak lebih gelap dibanding Sina kakaknya. Rambut hitam Pare yang panjang dibiarkan terurai bagaikan mayang karena usianya yang baru menjelang remaja.
Ketika Ema Oba sedang berpergian saat itu, suatu hari si bungsu Pare merengek pada Ine Ghena untuk makan nasi ( ka bubu). Ine Ghena menjadi bingung karena wujud nasi yang diminta anaknya itu belum pernah mereka lihat. Sebagai ibu ia menyuruh anak laki-lakinya pergi mencari ubi hutan yakni ejo yang merupakan jenis ubi yang paling manis dan enak. Setelah Teru dan Tena membawa ubi ejo yang dicarinya di hutan namun Pare tetap menangis, dia tidak mau makan.
Ine Ghena lalu meminta Teru dan Tena mengejar ayam hutan (katta) sebagai gantinya. Setelah hasil buruan kedua kakaknya dipanggang dan diberikan kepada adiknya Pare dia tetap menangis dan menolaknya. Dengan sabar Ine Ghena tidak putus asa sebagai seorang ibu ia tetap melayani permintaan puteri bungsunya itu dengan penuh ikhlas dan kasih sayang, apalagi Pare sangat dikasihi oleh Ema Oba. Kemudian Ine Ghena meminta Nilu pergi mengambil tuak manis yang disadap anaknya itu untuk si Pare namun anak bungsu mereka itu tetap menolaknya. Sepanjang siang dan malam Pare selalu saja menangis dan hanya mau minta makan nasi. “Ja’o mora bodha ka go maki”!!!
Karena terus menagis dengan tak henti-hentinya kemudian Pare jatuh sakit. Badannya menjadi kurus dan lemas. Ine Ghena menjadi sedih dan kuatir, sementara suaminya Ema Oba belum juga pulang ke Langagedha. Walaupun sakit dan tubuh dalam keadaan kurus kering Pare tetap saja menangis. “ Oooh kau dia tuku da ngede go bhu bhale so’o le?” (Oooh kau ini jangan sampe meminta sesuatu yang aneh karena dikuasai/dirasuki pengganti rupa)?” kata Ine Ghena mulai takut. Karena prihatin dan sedih melihat keadaan putri bungsunya si Pare, Ine Ghena juga tidak bisa makan dan minum. Sudah hampir sebulan Pare menangis terus, dan ketiga saudara laki-lakinya mulai marah. “kau dia tuku go bhu bhale, ngede go maki lo kita bha’I tuza mula na… kita dhomi latu go uwi…(kau ini jangan sampai ada wujut pengganti rupa, masa minta nasi yang tidak pernah kita tanam, padahal kita hanya mempunyai ubi)” kata Teru memarahi adiknya itu.
Ine Ghena semakin sedih hatinya.
“mali kau tau ghera moe dia, ine kita nenga olo mata nea” (jika engkau terus begini, maka mama kita akan cepat meninggalkan kita semua)” kata kakaknya Tena.
Mendengar kalimat yang diucapkan Tena, Ine Ghena sangat terkejut.
“ma’e lee!, Miu ma’e mazi moe kena..( jangan !, kamu jangan bicara seperti itu)”
Ema wo bhai ngodho, kita dere say Ema de wado,.. (bapakmu belum juga datang, biar kita tunggu saja sampai bapak pulang).” jawab Ine Ghena mencoba meredakan amarah putera-puteranya.
Waktu terus berlalu, setelah menunggu barhari-hari sang kepala keluarga tak kunjung pulang sementara Pare dan Ine Ghena semakin parah keadaannya. “ ay moe de kita wela nea gzi azi kita dia, mali bha’I ine nenga penga mata”… ( bagaimana kalau kita bunuh saja adik kita ini, sebab kalau tidak mama juga akan mati”, kata Teru berkompromi dengan adik-adiknya.
Malam itu ketika Ine Ghena sudah tertidur pulas, Teru, Tena dan Nilu segera menggendong adiknya Pare ke kebun dibelakang rumah mereka. Disana ketiga saudara itu membunuh adik mereka yang dalam keadaan sakit dan tak berdaya itu. Untuk menghilangkan jejak, darahnya dicampurkan dengan tanah kemudian disiram disekeliling kebun. Demikian juga dengan tubuh Pare yang dicincang kecil-kecil lalu dicampurkan dengan tanah dan ditaburkan keseluruh kebun milik mereka. Ine Ghena dan Sina tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh ketiga anak laki-lakinya karena mereka tertidur lelap.
Keesokan harinya pagi-pagi buta Teru dan Tena segera berangkat masuk kedalam hutan untuk berburu, sedangkan saudara mereka Nilu segera menuju ke Loka Tua (tempat berkumpul dan minum tuak) untuk menyadap tuak. Menjelang tengah hari langit yang tadinya cerah berubah menjadi mendung dan hujanpun turun dengan sangat deras seakan alam juga turut berkabung atas kehilangan puteri bungsu dari keluarga Ine Ghena dan Ema Oba. Ine Ghena mulai mencari ke segala arah kemana perginya Pare anak bungsunya itu. Dalam benaknya Ia berpikir kalau Pare mungkin sudah ikut bersama kakaknya Nilu kel Loka Tua atau mungkin ikut bersama kedua kakanya Teru dan Tena ke hutan, sebab hal ini sering dilakukan Pare ketika dia masih anak-anak. Sebagai seorang ibu ia tidak pernah menduga apa yang sesungguhnya dialami puteri kecilnya itu.
Sudah dua hari Teru, Tena dan Nilu tidak pulang ke rumah, begitu juga dengan si bungsu Pare, ibu mereka Ine Ghena sangat cemas. Sementara itu Ema Oba juga belum menunjukan tanda-tanda akan segera kembali. Suasana dirumah sangat sunyi sedangkan kebun di belakang rumah setelah hujan lebat dua hari yang lalu nampak mulai ditumbuhi sejenis rumput yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Sina sangat mengagumi keindahan rumput berwarna hijau dan halus yang baru dilihatnya itu. “Ine.. Ine!! May iso dia, go mere apa ke’e dia na?…(mama… mari lihat ini, rumput jenis apa ini?)”, teriak Sina pada Ine Ghena. Dengan cepat Ine Ghena menyusul Sina ke kebun mereka. Ibu dari kelima anak ini juga sangat terkejut melihat keindahan rerumputan yang tumbuh secara merata diseluruh kebunnya. Hari itu Sina tidak melanjutkan belajar menenun, dia lebih betah bermain di kebun. Ketika berjalan ditengah kebun rumput-rumput hijau itu menyentuh kaki mulusnya Sina dengan sangat lembut. Saat merasakan kelembutannya Sina tergerak hatinya untuk membelai-belai rumput hijau itu. Karena keasyikan dengan suasana baru yang dilihatnya itu tak terasa hari sudah menjelang sore, dan Sina juga masih bermain di tengah kebun sambil ditemani ibunya. Tiga hari berikudnya rumput aneh itu sudah setinggi pinggangnya si Sina, daun-daunnya pun semakin menghijau namun tetap lembut jika tersentuh kulit. Rumput aneh itu bertumbuh demikian cepat dan batangnya juga sangat langsing.
Beberapa hari kemudian bagian batang rumput itu semakin tinggi dan membesar. Sina dan Ine Ghena terus memperhatikan perkembangan tanaman baru itu karena pertumbuhannya sangat cepat. Setiap hari mereka merasakan keanehan jika memandangi rumput-rumput dibelakang rumah mereka. Keesokan harinya dari batang yang membesar itu munculah mayang seperti rambut-rambut yang sangat halus, dan menjelang sore hari dari rambut yang lembut itu munculah bulir-bulir yang bentuknya aneh dan sangat banyak jumlahnya pada setiap batang rumput dan semuanya masih berwarna hijau.
Terpesona dengan apa yang mereka lihat, Pare dan Ine Ghena setiap hari hanya berbincang dan saling bertanya tentang keanehan tanaman jenis baru itu. Yang lebih aneh lagi ialah sejak muncul rumput-rumput didalam kebun, mereka mulai melupakan Si Pare karena setiap kali kedua anak dan mama ini berada di kebun Ine Ghena dan Sina merasa anak bungsu mereka Pare ada ditengah kebunnya. Ketika sedang asyik bercerita tentang rumput indah itu, dari kejauhan munculah ketiga putera Ine Ghena. Teru dan Tena bergegas turun dari kuda tunggangannya dengan membawa seekor rusa jantan dan seekor babi hutan hasi buruannya. Sedangkan Nilu membawa dua ruas bambu (se puda) yang berisi moke putih sadapan enau disekitar loka tuanya.
Menyambut kedatangan mereka bertiga, Sina dan Ine Ghena bukannya menanyakan dimana adiknya Pare, tetapi Sina dan Ine Ghena menarik mereka ke kebun di belakang rumah mereka. “ iso si go mere dia, miu nga la’a ghabo ne la’a kaza tua go mere diana tebu dhano dia uma kita, (lihatlah, setelah kalian pergi berburu dan pergi menyadap tuak, rumput aneh ini tumbuh di kebun kita).” Kami tidak tau jenis rumput apa ini, mereka tumbuh sangat cepat” kisah si Sina dengan penuh kegirangan. Mendengar apa yang telah dikatakan Ibu dan adiknya itu, ketiga bersaudara itu saling berpandang dengan raut wajah yang sama kebingungan. Mereka tidak berani menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Menghilangnya Teru, Tena dan Nilu beberapa hari ini dengan maksud untuk menhindari pertanyaan dari Ine Ghena dan juga mereka tidak mau melihat kesedihan ibunya. Dalam hati ketiga saudara ini bertanya-tanya “mona ga’e go mere dia tuku go mae azi kami ne Pare so’o? (jangan sampai rumput ini adalah jelmaan adik kami Pare?)”.
Tetapi mereka bertiga tetap membungkam, apalagi Ine Ghena dan Sina tampak sangat gembira, bahkan mereka tidak bertanya kemana adiknya Pare. Sementara bulir-bulir yang muncul dari batang rumput aneh itu sudah mulai menguning. Ine Ghena mencoba memetik beberapa butir lalu mengupas kulitnya, saat itu juga Ine Ghena merasa terkejut karena melihat isi bulir itu berwarna merah seperti darah. Dia mencoba menggigitnya, rasanya sangat manis. Sekali lagi ia bertanya dalam hatinya biji apakah ini?. “eeeh masa miu may iso si dia (eeeh mari kalian semua, kamu lihat isi biji rumput ini)”, kata Ine Ghena menunjukan buliran berwarna merah itu kepada anak-anaknya.
Sina sangat bergembira setiap kali kekebun, dia selalu ingin memeluk batang-batang rerumputan itu. Ketika melihat isi dari bulir yang berwarna merah seperti darah yang ditunjuk ibunya, Teru, Tena dan Nilu yakin seutuhnya bahwa rumput-rumput yang tumbuh didalam kebun mereka benar-benar jelmaan dari adik bungsu mereka. Batang rumput aneh yang banyak dan berbuah itu tingginya sama seperti tinggi badan adik mereka Pare. Mayang yang keluar dari batangnya terurai seperti rambutnya Pare yang selalu dibiarkan terurai panjang tanpa diikat sebagaimana yang dilakukan kakanya Sina. Biji-biji yang berwarna merah seperti darah Pare yang masih suci dan perawan itu. Tanpa disadari air mata dari kakak sulung mereka si Teru menitik membasahi beberapa buliran rumput yang tergantung berat di kedua telapak tangannya. Tetapi dia belum juga menemukan cara untuk menyampaikan hal yang sebenarnya kepada ibu, ayah dan adik mereka Sina. Teru sebagai kakak tertua sangat sedih melihat semua itu.
Angin yang berhembus perlahan menggerakan daun-daun rerumputan yang tereasa membelai-belai lengan dan bahu kakak tertua mereka. Teru semakin bersedih karena merasa bersalah sembari berjalan merunduk sambil menciumi setiap halai daun yang menyentuh tubuhnya. Teru sungguh merasakan kehadiran Pare si adik bungsu yang telah mereka bunuh diantara indahnya rerumputan itu. Ketika Teru kembali ke halaman rumah, dari kejauhan nampak debu mengepul diterpa angin akibat hentakan kaki kuda yang ditunggangi ayah mereka Ema Oba beserta bawahannya sedang menuju kerumah setelah sekian lama berpergian. Setibanya di rumah semua menjadi terdiam, Ine Ghena juga tidak beranu menceritakan hilangnya anak bungsu mereka Pare. Sina tampak berseri-seri dia sudah tidak sabaran ingin membawa sang ayah ke kebun dibelakang rumah mereka. Tiba-tiba Ema Oba memecahkan kesunyian, dia merasa ada yang sesuatu yang ganjil sebab biasanya ketika dia pulang setelah berpergian dalam waktu yang lama si anak bungsu adalah orang pertama yang melompat naik ke pangkuannya dan segera menumpahkan isi keranjang bawaannya (lega), namun berbeda dengan kali ini.
“hooo!! ala masa miu we dia, ala ana ja’o nee Pare we dee? (hoo!! Kalian semua disini, tapi dimana anakku Pare?)” tanya Ema Oba dengan penuh penasaran.
Seperti sudah diperintahkan, semuanya terdiam seribu bahasa, sebagai seorang mosa Laki (tetua adat) insting Ema Oba mulai merasa curiga, “de moe de sema dia, alla miu bhela bhete masa? (ada apa ni, kenapa kalian semua terdiam?)”, tanya Ema Oba sekali lagi.
Belum ada yang berani memberi jawaban, karena suasana menjadi semakin tegang, Sina bergegas menarik tangan Ema Oba menuju ke kebun.
“ema! Ema,…iso si dia, go mere apa ke,e
Emu tebu masa we dia uma kita, kami de busa go mere apa bodha dia na,”
(bapak!! lihatlah rumput-rumput ini, mereka tumbuh bersama dalam kebun kita, kami semua tidak tau jenis rumput apakah ini)”,Tanya Sina beruntun.
Ema oba juga tidak tau jenis rumput apakah yang telah tumbuh diatas tanahnya itu, namun dia merasa ada sesuatu yang aneh ketika dia menyentuh rumput-rumput itu. Seketika ia teringat kembali anak bungsunya Pare. Kemudian Ema Oba berusaha memanggil nama anak kesayangannya,
“Pare!! Pare ….!!” Panggil Ema Oba
“ oee ema…! ja,o we dia” (iaa bapak, saya ada disini ..!!), terdengar suara Pare menjawab ayahnya dari belakang.
Ema oba dan Pare segera berpaling kekiri dan kekanan, tetapi dibelakang mereka hanya ada rumput-rumput yang telah berbuah dan menguning itu yang sedang bergoyang-goyang dihembus angin. Ema Oba memanggil lagi,
“Pare!! Pare ….!!” Panggil Ema Oba
“ oee ema…! ja,o we dia ” (iaa bapak, saya ada disini ..!!) jawab Par dari arah yang lain lagi.
Mereka berdua sangat mengenal suara mungil yang didengarnya, itu suara anak saya Pare, kata Ema Oba dalam hatinya. Tak tahan oleh apa yang dirasakan itu, ketiga anak laki-lakinya mulai memberanikan diri untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Mendengar semua apa yang menimpa anak bungsunya, Ine Gena dan Sina segera meranggkul batang-batang rumput itu dan meratapinya.
“Tu,u leka, ne Pare da ngede go bhu-bhale, (ternyata benar, Pare meminta sesuatu keanehan)”, kata Ine Ghena sambil menangis tersedu-sedu.
Sementara mereka semua terdiam dan hanyut memikirkan apa yang telah terjadi pada Pare, rumput-rumput dihadapan mereka it uterus melambai-lambai seperti sedang menari-nari kegirangan. Akhirnya mereka paham kalau Pare tidak ingin mereka sekeluarga bersedih atas peristiwa yang telah menimpanya. Ema Oba kemudian mengajak semua anggota keluarganya kembali kedalam rumah guna memikirkan langkah selanjutnya.
Di rumah Ema Oba melanjutkan pembicaraan pasca kematian salah seorang anaknya itu.
“Ja,o bodha we neku ana ja,o (saya harus mengupacarakan anak saya Pare)
Robha ze,e Teru ne,e Tena miu gae go kaba mosa meze
Ine ne,e Sina, la,a gee sa,o we jiru masa one nua we may meghe dia de neku ne Pare. Ala me Nilu kau la’a solu wali go tua mena loka, (besok pagi Teru dan Tena pergi carikan seekor kerbau jantan yang besar, untu upacara, sedangkan Ine Ghena dan Sina anaknya pergi mengajak semua orang dalam kampung untuk datang makan bersama dam ritual/upacara kematian anak mereka Pare, Sedangkan Nilu pergi lagi ke sekitar Loka tuanya untuk mengambil tuak untuk diminum bersama)”, ucap Ema Oba membagi tugas kepada isteri dan anak-anaknya.
Setelah semua yang disyaratkan tersedia, Nilu belum juga datang. Semua orang sudah berkumpul dan menunggu. Kerbau jantansudah terikat ditengah kampung pada sebatang tiang kurban (Ngadhu), haripun semakin petang. Tiba-tiba Nilu muncul di pintu masuk kampung (bata nua). Semua orang yang hadir meneriakinya, karena merasa sangat malu timbullah amarah yang memuncak. Seketika ia mencabut sebilah parang yang terikat pada pinggangnya kemudian dengan cekat Nilu menebas leher kerbau yang terikat tadi. Dengan sekali tebasan tepat dilehernya kerbau jantan besar itu berontak karena kesakitan, lalu melompat berlari sambil menyeruduk semua orang yang dilihatnya itu. Karena panik semua orang berlari dan berpencar kesana kemari untuk menyelamatkan diri. Sambil berlari dan berteriak “ kami bha ‘i..ada yang teriak “ kami mona, dan ada juga yang berteriak kami toee…”.
Konon yang berteriak Kami Bha’i terus berlari kea rah Naru dan terus ke utara, yang berteriak kami mona berlari ke arah selatan terus menuju ke timur. Sedangkan yang berteriak kami toee, berlari ke arah selatan dan terus ke barat. Kami Bha’i kemudian berkembang dan menjadi kelompk etnis Ngada, kami mona selanjutnya berkembang menjadi kelompok etnis Nagekeo, sedangkan kami toee, menjadi kelompok etnik Riung hingga saat ini….