Business

Sejarah Singkat Etnis Ngadhu Bhaga

Beberapa narasumber kebudayaan menyatakan nama Kabupaten Ngada merupakan nama etnis Ngadha yang berasal dari kata Magadha yaitu nama sebuah tempat di India (Yunan Selatan) yang memiliki kemiripan penerapan tatanan kehidupan yang hampir sama dengan orang Ngadha di Pulau Flores (Ota Roja Zeta Roja – artinya di daratan Ngada/Flores, Lau wio, – antara Flores dan Sumba).

Meskipun penuturan beberapa narasumber tidak dapat dibuktikan dengan pasti, namun Ngadha adalah nama salah satu Woe (suku) yang ada dalam rumpun budaya Reba (budaya Ngadha/budaya Ngadhu-Bhaga). Suku-suku dalam kebudayan Ngadha mendiami daerah-daerah pada 8 (delapan) wilayah kecamatan terutama seputar gunung Inerie.

Persebaran Woe Ngadha dan pengaruhnya menjadi salah satu yang berpengaruh besar pada penyebutan identitas budaya antara kalangan rumpun budaya Reba/budaya Ngadhu-Bhaga. Woe-woe (suku-suku) yang tergolongan dalam nama Woe Ngadha diantaranya adalah Woe Ngadha di kampung Bajawa, Woe Ngadha (Ebu Kodo dan Ebu Lodo) di kampung Watujaji (Ngadha Mana) dan Woe Ngadha yang ada di kampung Bokua, Kecamatan Bajawa, Woe Ngadha (Ago Ngadha) di kampung Bena, Kecamatan Jerebuu, woe dan woe Ngadha yang ada di kampung Belaraghi, Kecamatan Aimere.

Berpijak dari pengaruh dan persebaranWoe Ngadha di atas maka banyak kalangan dan narasumber serta beberapa literatur yang telah ada menyebutkan identitas budaya bagi rumpun penganut budaya Reba/budaya Ngadhu-Bhaga sebagai Budaya Ngadha. Nama dan identitas ini telah menjadi penyebutan yang lazim bagi penganut budaya Reba yang terdiri dari berbagai woe dengan masing-masing nama. 

Menurut salah satu narasumber budaya Ngadha (Bapak Yosep Tua Demu) Ngadha/Ngada berarti memandang atau melihat ke atas secara tegak lurus, seperti yang terungkap dalam ungkapan orang Ngadha yakni Ngada Zia ghee ulu Zeta pe’e Pengi nee liko digho yang berarti menengadakan muka ke atas baru merunduk dan melihat sekitarnya di bawah. Secara harafiah ungkapan ini berisikan falsafah atau ajakan prinsip hidup untuk masyarakat budaya Ngadha. Ungkapan ini berarti bahwa Ngadha adalah memandang ke atas yang berpengertian meminta inspirasi dari Yang Di atas (Dewa Zeta), setelah mendapatkan inspirasi baru merunduk untuk berbuat terhadap apa yang dipandang pada lingkungan sekitarnya. Dengan demikian Ngada adalah permohonan atau do’a kepada ujud yang tertinggi untuk mendapatkan sumber pemahaman yang baik dan rahmat yang baik untuk bekerja dan membangun dunia di sekitar kita.

Ngadha dihubungkan dengan kegiatan orang budaya Ngadha disaat mempersembahkan sesaji, khususnya dalam berbagai upacara adat biasanya orang mengucapkan doa adat dengan menengadahkan muka ke atas seraya mengucapkan doa guna memohon perkabulan ujud tertentu.

Menurut Bapak Nikolaus Nono Wara, beliau menuturkan bahwa Ngadha terdiri dari dua suku kata yakni Nga dan Dha; Nga berarti memandang, menjenguk, membesuk, melihat,memeriksa, mengoreksi, mengawasi, menoleh, mengundang, mengajak dan mencari. Sedangkan Dha berarti kebawa secara berurutan. Menurut beliau, Ngadha berati sangat luas yakni pandangan yang bersumber dari Ketuhanan (Dewa) dengan mengutamakan rasa persaudaraan yang harus diaktualisasikan dengan saling memandang, menjenguk, membesuk, melihat, memeriksa, mengoreksi, mengawasi, menoleh, mengundang, mengajak dan saling mencari hal-hal positif guna memupuk kebersamaan dalam suasana kekeluargaan dan kekerabatan guna berpikir, merencanakan dan berbuat sesuatu mulai dari hal besar sampai hal kecil.

Ada juga pendapat lain yang menyebutkan Ngadha diambil dari Wolongada, sebuah bukit yang dibawahnya terdapat kampung bajawa yaitu kampung asal dari djawa tay yang menandatangangi Korte verklaring tahun 1918. Sehingga kampung Bajawa menjadi pusat pemerintahan landschaap bestur Ngada. Djawa Tay memiliki governemen besluit/SK dari pemerintah Hindia Belanda untuk menjadi besturder/kepala pemerintahan Ngada.