Business

Adat Istiadat

Langagedha memiliki adat istiadat yang masih kental dan masih terjaga dengan sangat baik

Puju Pia Kuwi Na'a : Tradisi Memberi Makan Nenek Moyang

Puju Pia Kuwi Na’a, atau tradisi memberi makan nenek moyang, merupakan salah satu ritual adat yang diwariskan secara turun-temurun di masyarakat Langagedha. Ritual ini selalu menjadi bagian penting dalam setiap upacara adat, sebagai bentuk penghormatan dan komunikasi spiritual dengan leluhur.

Dalam tradisi ini, tiga jenis hewan kurban digunakan: manu (ayam), ngana (babi), dan kaba (kerbau). Daging hewan-hewan tersebut dimasak dengan darahnya, dicampur dengan kelapa, dan disajikan bersama nasi dan moke. Uniknya, darah kurban juga memiliki fungsi lain, yaitu untuk menyucikan bahan-bahan yang digunakan dalam pengerjaan proyek adat, seperti pembangunan tiang Ngadhu Bhaga, alang-alang, dan bambu.

Setelah dimasak, makanan disajikan di atas wati, piring adat yang terbuat dari anyaman daun lontar, bersama dengan moke, minuman tradisional yang ditaruh dalam se’a tua, cangkir yang terbuat dari batok kelapa. Prosesi ini dilakukan sebelum acara makan bersama dimulai, di mana seorang pemimpin adat akan memimpin doa dalam bahasa daerah. Doa tersebut berisi ajakan kepada roh leluhur untuk hadir dan makan bersama, sekaligus menyampaikan permohonan atau harapan kepada para leluhur.

Sebagai bagian dari ritual ini, nasi dan moke dipercikkan menggunakan jari telunjuk, yang dikenal dengan istilah “fedhi tua”, sebagai tanda simbolis penghormatan dan doa. Tradisi Puju Pia Kuwi Na’a ini menggambarkan hubungan erat antara masyarakat Langagedha dengan leluhur mereka, serta rasa syukur dan penghormatan yang diwujudkan melalui persembahan makanan.

Ngadu Bhaga

Ngadhu dan Bhaga adalah dua simbol penting dalam tradisi masyarakat di Kabupaten Ngada, khususnya yang beretnis ngadhu bhaga(Bajawa, Langa, Golewa, Jerebu, Aimere dan Inerie). Keduanya merupakan dualisme yang tidak bisa terpisahkan dari suatu komunitas adat(Woe) terkait erat dengan leluhur dan memiliki peran penting dalam kehidupan sosial serta keagamaan masyarakat adat.

Ngadhu melambangkan nenek moyang laki-laki. Biasanya terbuat dari kayu sebu (Trenguli) yang besar, biasanya diukir dengan motif khas. Ngadhu menjadi simbol pelindung keluarga atau klan yang berasal dari leluhur laki-laki dan sering menjadi pusat ritual adat yang melibatkan kaum pria.

Bhaga, di sisi lain, mewakili nenek moyang perempuan. Bentuknya menyerupai rumah mini dan ditempatkan berdampingan dengan Ngadhu di tengah kampung. Bhaga melambangkan keberadaan leluhur perempuan yang menjaga dan melindungi. Berbagai ritual adat.

Dalam kehidupan masyarakat Langagedha, Ngadhu dan Bhaga berfungsi sebagai simbol spiritual yang juga mencerminkan keseimbangan antara elemen laki-laki dan perempuan. Hal ini sejalan dengan konsep dualisme yang diyakini dalam banyak budaya di Indonesia, di mana harmoni antara pria dan wanita menjadi dasar kehidupan yang seimbang.

Ritual yang melibatkan Ngadhu dan Bhaga biasanya mencakup penyembahan kepada leluhur, doa, persembahan, serta penyembelihan hewan sebagai bagian dari tradisi. Struktur sosial masyarakat adat Ngada juga terbentuk di sekitar keberadaan Ngadhu dan Bhaga, dengan setiap klan memiliki keduanya sebagai simbol identitas dan warisan leluhur.

Dengan demikian, Ngadhu dan Bhaga tidak hanya menjadi simbol visual tetapi juga menggambarkan hubungan spiritual yang kuat antara generasi sekarang dan leluhur, yang terus melindungi dan menjaga keturunannya.

Sange: Sanksi Adat yang Menjaga Keharmonisan Tradisi

Sange adalah bentuk sanksi adat yang diterapkan oleh masyarakat Langagedha bagi siapa saja yang melanggar tempat-tempat atau tradisi yang dianggap keramat. Sanksi ini ibarat “cemeti adat,” pengingat agar setiap individu tetap menghormati norma-norma dan nilai leluhur. Tempat-tempat yang dianggap sakral oleh masyarakat termasuk mata air, pohon-pohon besar yang telah berumur, serta batu perjanjian yang berfungsi sebagai tapal batas wilayah.

Sanksi yang didapat bisa berupa hukuman seperti denda adat atau sanksi alam seperti sakit dan sebagainya dan jika ingin sembuh harus melakukan upacara adat sebagai bentuk perdamaian.Kelapa digunakan masyarakat Langagedha sebagai bentuk perdamaian Ketika melanggar norma adat.

Dengan adanya Sange, masyarakat Langagedha menjaga keharmonisan antara manusia, alam, dan leluhur. Tradisi ini mengingatkan bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab untuk menghormati warisan leluhur dan menjaga keseimbangan dalam komunitasnya.